Harus diakui bahwa kehadiran
transportasi berbasis aplikasi online di
Indonesia, khususnya di kota-kota besar, memberikan banyak manfaat bagi para
pengguna jasa transportasi. Transportasi berbasis online ini seakan
menjadi jalan tengah kondisi mobilitas masyarakat perkotaan yang intensitasnya
tinggi diantara kemacetan jalan raya yang persoalannya tidak mudah terurai.
Kita tidak menafikkan bahwa transportasi online menjadi pilihan karena
keunggulannya yang tepat waktu dan ongkos yang terjangkau. Sayangnya polemik
terus muncul, khususnya perseteruan antara transportasi umum berbasis online dengan
transportasi umum konvensional.
Di satu sisi transportasi online sendiri
merupakan bisnis inovasi yang memanfaatkan kecanggihan perkembangan telepon
pintar di era digital. Para founder transportasi online ini tidak
perlu punya ribuan armada transportasi tetapi berfokus pada jualan aplikasi.
Kalangan yang bisa tersentuh adalah mereka yang melek teknologi baik dari sisi
pengemudi maupun sisi pelanggan. Melek teknologi ini dibutuhkan sebuah kemauan
yang kuat. Kemauan itu terkait dengan unsur non-materi sebagai bentuk etos kehidupan
seseorang.
Namanya saja bisnis inovasi artinya
baik pelaku bisnis maupun penikmatnya harus terus mengikuti inovasi-inovasi
yang ada. Namun culture
lag itu tidak bisa diubah begitu saja seperti membalikkan
telapak tangan. Itulah kenapa program revolusi mental di era Presiden Jokowi
ini cukup sulit dilaksanakan, sesuatu yang berbentuk kebendaan lebih cepat
berubah daripada kesiapan mental seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar